Tidak Ada Ketenangan yang Hadir Tanpa Keriuhan

Apakah mungkin ketenangan dan keriuhan adalah dua sisi dari koin yang sama?

Had Unji
5 min readMay 30, 2024

Babak I: Pertanyaan

Suatu hari, salah satu senior di kampus bertanya pada saya,

“Cita-cita kamu apa, sih?

Kamu mau apa setelah lulus nanti?”

Tepat saat itu, kami sedang duduk di area luar dari sebuah kafe milik salah satu teman dekat. Sebenarnya kami pernah bertemu beberapa kali di kampus karena kami berasal dari satu fakultas, tapi baru kali ini kami berbincang-bincang secara intensif.

Pada saat pertanyaan tersebut keluar bak sebuah petir, gerimis mulai menyelimuti sore yang mendung di Jalan Monjali. Saya terdiam dan termenung, memikirkan berbagai kemungkinan jawaban.

Terlebih lagi, tujuan saya saat itu hanya ingin bersenda gurau dan ketawa ketiwi, bukan malah krisis eksistensi.

Kurang lebih 5 menit saya mengisi waktu hening tersebut dengan suara hmm..

Mata saya menjelajah ke sana kemari-kemari mencari jawaban, kadang ke muka lawan bicara saya, kadang ke langit, kadang ke teman saya yang sedang mengaduk mie di dapur, kadang ke tanaman lidah mertua yang sepertinya tidak pernah disiram selama berhari-hari.

Tiba-tiba saya teringat lagu yang saya dengarkan ketika mengendarai Astrea Grand ’92 di perjalanan menuju ke kafe tersebut. Dalam lagu tersebut ada lirik yang berbunyi, Aku hanya ingin ketenangan.

Seketika saya menjawab dengan mantap, menatap mata senior saya,

“Aku sih pengen ketenangan, kak.”

Mendengar jawaban tersebut, senior saya mengheningkan cipta sembari menyiapkan reaksi paling tepat. Tersirat sedikit keterkejutan dalam raut mukanya, tapi saya dapat menebak dengan jelas apa yang ada di pikirannya.

Babak II: Ketenangan yang Didambakan

Entah bagaimana reaksi kalian yang membaca ini, tapi saya tersenyum kecil ketika mengingat kembali lontaran kata tersebut dan raut reaksi senior saya. Seolah hidup saya yang paling hancur berkeping-keping.

Oke, si paling Gen Zen.

Tidak dipungkiri, jawaban tersebut keluar karena saya merasa demikian dan saya perlu mengatasi semuanya secara mandiri.

Pertanyaan itu mengingatkan saya pada masa-masa sulit di tengah pandemi, ketika ekonomi sedang porak poranda, relasi hanya dijalin lewat media maya, proses pembelajaran yang tidak dapat dilakukan secara tatap muka, dan sebuah hubungan yang bikin saya gila.

Seolah kekacauan tersebut tidak ada habisnya, saya babak-belur digempur problematika dalam berbagai rupa dan dari segala lini. Mungkin ini suatu pengalaman kolektif, tapi saya hanya mewakili diri saya sendiri.

Di dalam lubuk hati terdalam, saya ingin semua masalah yang saya hadapi dan yang berdampak pada saya dapat terselesaikan segera. Maka dari itu, saya bercita-cita untuk mendapat ketenangan.

Babak III: Empat Tahun Setelahnya

Melompat empat tahun setelahnya, saya teringat kembali lontaran kata-kata tersebut sembari duduk termenung di bawah langit keabuan Jalan Ir. Juanda.

Saya sudah berada di kota yang berbeda dengan kesibukan yang berbeda, bangunan tempat kami bercengkrama bahkan juga sudah beralih fungsi dan saya tidak tahu kemana rimbanya senior tadi.

Ketika saya menginternalisasi ingatan tersebut, saya sadar cita-cita yang sampaikan kala itu masih terasa jauh sekali. Jika diibaratkan dengan pendirian bangunan, saya hanya baru melakukan peletakan batu pertama, tanpa proses seremonial dan simbolis.

Semakin ke sini kehidupan saya semakin riuh, isi otak saya semakin berisik, dan problematika yang saya hadapi pun semakin kompleks.

Karena saya sangat introspektif, saya memaknai bahwa ini adalah proses pendewasaan. Pada dasarnya, semakin dewasa kita, semakin banyak hal yang akan dipikirkan.

Sebelumnya, saya memikirkan tentang materi apa yang akan keluar dalam ujian mata kuliah English Grammar atau bagaimana obsesi Pecola Breedlove terhadap kulit putih dan rambut pirang menunjukkan supremasi kekuatan suatu kelompok warna kulit ke kelompok warna kulit yang lain.

Sekarang, saya lebih ke memikirkan bagaimana membuat penghasilan saya cukup untuk bertahan hidup selama sebulan ke depan serta menyisihkannya untuk orang tua.

Memikirkan bagaimana saya harus mengerjakan tanggung jawab pekerjaan, membangun portofolio pribadi, sekaligus meniti karir yang saya ingin capai.

Ditambah saya perlu memikirkan apakah saya akan makan ayam geprek atau nasi goreng untuk malam ini.

Tidak ada kata tenang. Selalu ada keriuhan yang mengganggu pikiran saya. Di beberapa kesempatan, saya meluangkan sedikit waktu untuk memberikan ruang pada ketenangan, tapi pasti ada saja pikiran-pikiran yang memaksa masuk.

Layaknya orang-orang yang menyerbu toko pakaian bekas, bekas dipakai oleh penduduk first-world country.

Babak IV: Dua Sisi Koin

Lamunan berhenti ketika saya melihat jalanan di depan gedung saya berdiri.

Jalanannya lengang dan tenang hanya ada beberapa kendaraan melintas, padahal biasanya jalan ini sesak akan kendaraan dari ujung bawah sampai atas.

Meskipun faktanya jalanan ini terkenal sebagai pusat komersial kota, entah mengapa kendaraan berlalu lalang dengan lancar tanpa hambatan dan tidak ada kemacetan sejauh mata saya memandang, setidaknya yang saya sedang lihat kala itu.

Dalam perenungan itu, saya mulai berpikir, apakah mungkin ketenangan dan keriuhan adalah dua sisi dari koin yang sama?

Jika saya tidak pernah melihat jalanan ini ketika ramai, saya tidak akan dapat menyebutkan bahwa jalanan yang saya lihat saat ini terbilang tenang. Begitu pula sebaliknya.

Saya melihat dengan kepala saya sendiri bagaimana mobil dan motor tidak bergerak mengular dari lampu lalu lintas sebelumnya sampai setelahnya.

Mengingat percakapan itu dan bagaimana hidup saya berubah sejak saat itu, saya menyadari bahwa keriuhan dalam hidup saya adalah langkah-langkah kecil menuju ketenangan yang saya dambakan.

Meskipun pikiran saya seringkali dipenuhi keriuhan, ada saat-saat di mana ketenangan datang secara tiba-tiba, seperti jalanan yang lengang di depan gedung ini.

Babak V: Perenungan

Dengan sudut pandang berbeda, bisa saja, cara berpikir compare-contrast saya yang ternyata kurang tepat. Ketenangan bisa saja hadir tanpa adanya keriuhan.

Saya bisa saja memaknai keriuhan isi kepala dan kesibukan saya tersebut sebagai bentuk dari ketenangan yang saya dambakan.

Apakah pada dasarnya ketenangan dapat hadir tanpa adanya keriuhan, atau ternyata, tidak ada ketenangan yang hadir tanpa keriuhan?

--

--

Had Unji

Portraying everything that comes in my mind in a form of words