Sitemap

Sofa sebagai Seorang Teman dalam Obrolan Jam 3 Pagi

Teman yang tidak selalu bicara, tapi selalu hadir menemani bahkan sampai jam 3 pagi

5 min readMay 8, 2025

Beberapa percakapan paling jujur sering kali terjadi di jam-jam yang tidak masuk akal — saat malam sudah terlalu larut, dan dunia sudah menjadi lebih sunyi.

Waktu-waktu itulah yang sering menjadi ruang aman bagi perasaan yang biasanya terkunci rapat di siang hari. Itulah kenapa, ketika mendengar Lomba Sihir akan merilis album keduanya yang bertajuk Obrolan Jam 3 Pagi, saya langsung merasa ingin mendengarkannya dengan saksama.

Selasa, 6 Mei 2025, saya dan pasangan akhirnya punya kesempatan mewujudkan keinginan kecil kami: menyaksikan Lomba Sihir secara langsung.

Kami memang bukan tipe penikmat konser yang sering datang ke acara musik — bahkan saya sendiri bisa menghitung jumlah kehadiran saya di konser. Tapi kami punya kesepakatan: kalau suatu saat ada kesempatan nonton Lomba Sihir, ayo nonton bareng.

Dan hari itu, semesta mengiyakan.

Acara ini bukan konser besar. Bukan pula peluncuran album yang gegap gempita. Ini adalah sebuah intimate listening session, di mana 250 penonton terpilih duduk bersama di satu ruangan untuk mendengarkan keseluruhan lagu dalam album Obrolan Jam 3 Pagi — ditemani visualizer, lirik yang ditampilkan, serta suasana yang intim beserta Peserta Lomba Sihir (fans Lomba Sihir).

Saya sengaja tidak memutar ulang lagu-lagu yang sudah lebih dulu dirilis sebagai single. Bukan karena tidak berkenan, tapi karena saya ingin pengalaman mendengarkan ini terasa penuh, utuh, dan jujur. Sama seperti ketika menonton film yang ditunggu-tunggu — saya ingin datang tanpa ekspektasi, membiarkan musiknya yang bicara.

Dan setiap track itu memang berbicara. Dari track pertama hingga kesembilan Lomba Sihir seperti sedang menggenggam tangan saya dan penonton lainnya, mengajak kami berjalan mengarungi perjalanan mereka selama ini setelah perilisan album pertama, Selamat Datang di Ujung Dunia.

Bukannya membuat kami mengantuk, track-track di awal ini justru memberi energi baru. Seluruh alunan musik menggoda saya untuk setidaknya berdendang karena kegirangan. Alih-alih jam 3 pagi, rasanya seperti jam 7 pagi yang sangat penuh semangat untuk menyambut hari.

Sampai akhirnya track kesepuluh, Sofa, diputar.

Lomba Sihir sendiri pernah menceritakan bahwa Sofa menceritakan sebuah sofa yang menjadi bagian dari proses kreatif mereka, yang menjadi tempat duduk, bersantai, berbagi cerita, dan brainstorming tentang musik.

Takjub, mereka berhasil mengemas track tentang salah satu furnitur yang biasa kita temui di ruang tengah dan ruang tamu ini dengan penuh emosi sehingga ketika dilemparkan kepada pendengar, saya jadi ikut larut lalu merefleksikannya dengan pengalaman saya sendiri.

Saya mendengar ada yang berbeda dari track kesepuluh dalam album Obrolan Jam 3 Pagi ini. Track ini tak mengajak berdansa atau berteriak seperti track-track sebelumnya. Ia seolah hanya duduk di samping saya, memeluk perlahan, lalu menghembuskan kenangan.

Bahkan ketika Tristan Juliano mendentingkan keys pertamanya, saya seolah sudah diarahkan menelisik kembali memori. Ingatan saya melayang ke malam-malam pada pukul 3 pagi, bersama beberapa teman yang mungkin saat ini sudah terpisah secara jarak.

Ingat sekali ketika kami duduk melingkar. Ada yang merokok, ada yang menuang-nuang ‘minuman’, ada yang bercerita panjang lebar, dan ada yang hanya menyimak dengan mata sedikit mengantuk. Hanya obrolan jujur — pembicaraan soal keluarga, teori konspirasi, masa depan, dan cinta bercampur jadi satu. Tidak semuanya masuk akal, bahkan cenderung ngelantur.

Berkaca dari ingatan saya tersebut, saya jadi melihat bahwa sofa seperti sebuah sosok/ruang yang kita merasa aman (safe space). Ia tidak bicara, tapi menyimak. Tidak menilai, hanya menemani. Ia menjadi saksi bisu dari segala yang tidak bisa kita katakan di depan dunia. Tempat kita duduk dalam diam dan akhirnya menemukan: tidak apa-apa merasa lelah.

Vokal Natasha Udu, Rayhan Noor, dan Baskara Putra silih berganti menyampaikan lirik dengan kelembutan yang menggigit. Dinamika downtempo yang Enrico Octaviano bangun di chorus-nya semakin memperkuat narasi yang mau dibangun dalam lagu. Rasanya perpaduan ini seperti pemantik yang membantu saya membangun suatu nuansa tertentu.

Nuansa yang membuat saya ingin terdiam dan mengingat semua percakapan yang pernah saya lakukan pada pukul 3 pagi, seperti membuka kembali kotak sepatu berisi surat-surat lama, catatan kecil, dan potongan malam yang pernah saya lalui bersama orang-orang yang sekarang saya sudah tidak bertegur sapa.

Sembari menikmati alunan musik, mata saya memaku membaca lirik pada awal chorus:

Obrolan jam tiga pagi / Abu rokok, remah makanan / Berantakan

Tiga baris dalam chorus ini menjadi potret kecil dari kehidupan nyata yang tak banyak orang rayakan. Tapi Lomba Sihir justru memotret fragmen itu dan menempatkannya sebagai highlight, bahwa keintiman bukan hanya soal pelukan dan kata-kata indah, tapi juga soal mau hadir di tengah berantakan.

Rebahlah, kau tahu ku s’lalu di sini.

Baris ini membuat saya menitihkan air mata. Ada sesuatu yang begitu menyentuh dari apa yang ditulis oleh Lomba Sihir di sini. Tidak ada kesan menyuruh, hanya menawarkan kehadiran.

Dalam dunia yang seringkali menilai kita dari seberapa produktif kita hari ini, kita dituntut untuk kuat, sigap, sempurna. Tapi di hadapan sofa, kita boleh rapuh. Kita boleh jatuh.Rasanya seperti ada seseorang yang bilang, “Nggak apa-apa. Kalau capek, aku ada untukmu.”

Saya juga tersentuh oleh bagaimana track ini menuliskan bagaimana waktu yang berjalan:

Helai rambutmu di sela lipatanku / Ada yang memutih…

Saat bagian ini muncul, saya sempat diam beberapa detik. Saya takjub betapa dekat dan relevannya penulisan ini. Ini bukan cuma tentang sofa yang sudah dipakai lama — tapi tentang waktu yang terus berjalan tanpa kita sadari. Tentang orang-orang yang tetap bertahan di samping kita, meski hidup sudah melalui berbagai macam halang rintang.

Seperti si sofa ini bilang: “Aku tahu kamu berubah, dan itu nggak masalah. Aku juga berubah. Tapi kita masih di sini, kan?”

Busaku menipis, semoga masih nyaman untuk kau bersandar.

Sofa pun menua. Tapi ia tidak menuntut untuk diganti. Ia hanya berharap, meski sudah tak seperti dulu, ia masih bisa jadi tempat bersandar. Di situlah saya melihat makna cinta yang paling tulus, yaitu tetap hadir dengan setia untuk orang yang sudah bersama menerjang berbagai hal.

Dan saat lirik Sofa sampai pada bagian ini:

Tak seburuk yang kaubayangkan / Pergulatan batinmu selesai dengan besar hatimu.

Rasanya, sofa dapat diibaratkan seperti seorang teman yang tidak selalu bicara, tapi selalu hadir. Ia adalah pengingat bahwa hidup yang kita jalani — dengan segala letih, tanya, dan tangis — tidak perlu selalu dihadapi dengan kepala tegak. Ia teman yang menepuk punggung kita setelah sudah bergulat sekuat tenaga dengan dunia.

Teman yang masih rela hadir untuk kita bahkan pada pukul 3 pagi.

Pengalaman malam itu memang berhasil menyihir saya. Secara utuh, album Obrolan Jam 3 Pagi dari Lomba Sihir berhasil menghadirkan musik yang terasa hangat, jujur, dan penuh ruang untuk melihat kembali.

Terkhusus Sofa.

Bagi saya, track ini menjadi titik temu di mana segala obrolan jam 3 pagi terjadi. Kadang, kita hanya perlu duduk bercengkrama sebentar. Menyiapkan diri. Menyandar. Menangis, mungkin. Lalu tidur sebentar.

Dan ketika pagi datang, kita tahu: kita bersiap lagi. Masih bernapas. Masih bisa melanjutkan.

Satu hal lagi. Satu keinginan lagi. Satu doa lagi. Satu hari lagi.

--

--

No responses yet