Menjadi Tertinggal dan Mempersehat Mental

Capek ya? Sama aku juga

Had Unji
2 min readFeb 22, 2021

Belakangan ini, perhatian saya tercuri oleh kehadiran aplikasi bernama Clubhouse. Sebenarnya saya sudah mengetahui aplikasi ini dari jauh hari, mungkin sebelum Elon Musk mengunggah tautan ruang bincang Clubhouse di akun Twitter-nya. Seperti biasa, kekuatan Elon Musk mendongkrak popularitas aplikasi ini. Sayang sekali, saya belum bisa mencoba aplikasi ini karena saya hanya punya smartphone Android. Saya sebenarnya benar benar ingin mencoba “kayak gimana sih ini aplikasi?”, apalagi beberapa public figure yang saya follow sering pamer kegiatan mereka berbicara di ruang bincang Clubhouse begitu pula beberapa mutual saya yang memakai Iphone.

Pola yang sama terjadi juga ketika TikTok digunakan oleh banyak orang. Saya merasa bahwa saya tidak boleh ketinggalan keseruan tersebut. Tanpa disadari, saya telah memelihara bibit FOMO (fear of missing out) atau, bahkan, telah mempraktekkanya. Fear of missing out adalah istilah keren dari kecanduan media sosial. Pada dasarnya, saya melihat ada suatu fenomena yang menarik, saya ikut-ikutan deh. Jika ditelusuri lebih dalam, fenomena FOMO adalah salah satu penyebab sosial media menjadi destruktif bagi penggunanya. Kalian merasa cemas saat melihat sesuatu yang menarik di media sosial, sedangkan anda hanya menyaksikannya saja. Capek ya? Sama, aku juga. Oleh karena itu, media sosial disebut sebagai sumber stress terbesar di era digital ini.

Jika ada pro, maka ada kontra; jika ada putih, maka ada hitam. Fear of missing out memiliki lawan yang bernama joy of missing out (JOMO). Saat orang orang merasa cemas karena terlalu banyak scrolling sosial media, sebaliknya, seseorang yang merasakan joy of missing out menikmati hidup dengan cara mematikan gawai dan fokus pada aktifitasnya masing masing. Perasaan joy of missing out bisa dibilang adalah salah satu bentuk cara manusia memelihara kesehatan mental. Saya merasakan sendiri bagaimana rasanya FOMO dan pada akhirnya saya hanya berkata pada diri saya “hidup kok gini-gini aja sih”. Saya merasa tidak mau kalah dan tertinggal, kalah dan tertinggal dari siapa? Saya juga tidak tahu. Pola pikir seperti yang membuat saya semakin membenci diri saya sendiri; ketidakpuasan atas diri sendiri menjadi stonks.

Menjadi tertinggal sering dikonotasikan dengan lambat, lelet, atau tidak up-to-date. Joy of missing out memberikan kesan bahwa menjadi tertinggal itu menyenangkan. Informasi akan terus membanjiri timeline media sosial kita, sedangkan dalam sehari hanya ada 24 jam. Sayang sekali, jika kita tetap berfokus pada perasaan fear of missing out dan mengakhiri hari dengan penyesalan. Ketinggalan trend tidak akan membuat kamu meninggal kok. Menikmati hidup dengan melakukan apa yang kita suka dan sesekali pamer ke dunia maya tidak ada salahnya. Bagi saya sendiri, saya sangat suka mempelajari tingkah laku manusia di dunia maya, namun semakin lama saya semakin terkonsumsi oleh perasaan “ga boleh ketinggalan pokoknya”. Intinya, setiap hal ada porsinya, alat dibuat untuk memudahkan manusia, bukan untuk menguasainya.

--

--

Had Unji
Had Unji

Responses (1)