‘Berdiri pada Bahu Para Raksasa’ dalam Kreativitas Manusia

Kreasi manusia tidak muncul serta-merta dari ketiadaan. Ia hadir berkembang sebagai sebuah penyempurnaan

Had Unji
5 min readJan 7, 2024
An illustration of New Testament evangelists on the shoulders of Old Testament prophets, looking up at the Messiah (from the south rose window of Chartres Cathedral) (Source: Commons Wikimedia)

Ketika mendengar nama William Shakespeare, pikiran kita akan langsung terbayang pada sebuah mahakarya roman tragedi berjudul Romeo and Juliet.

Karya sastra yang menceritakan dua sejoli dari dua keluarga feodal Italia yang dimabuk asmara ini menjadi karya yang mengantar nama Shakespeare menjadi salah satu penulis berpengaruh dalam dunia kesusastraan.

Namun, kisah Romeo dan Juliet tidak serta-merta muncul dari suatu kekosongan, atau bahkan turun dari langit layaknya sebuah wahyu.

Shakespeare ‘berdiri pada bahu’ karya yang sudah hadir sebelumnya dan menyempurnakannya menjadi kisah roman yang dikenang sepanjang masa.

Bahkan Shakespeare Mengambil Inspirasi

Shakespeare mendasarkan kisah Romeo dan Juliet pada sebuah cerita yang ditulis oleh Matteo Bandello dan diterjemahkan ke dalam bentuk puisi dengan judul The Tragical History of Romeus and Juliet oleh Arthur Brooke pada tahun 1562.

Setelah itu, William Painter menceritakan ulang puisi tersebut ke dalam bentuk prosa bertajuk Palace of Pleasure pada tahun 1567.

Secara kronologis, Romeo dan Juliet dipublikasikan pada tahun 1597, beberapa tahun setelah kedua karya tersebut hadir. Shakespeare sendiri banyak mengambil inspirasi dari keduanya, tetapi Ia memperluas cerita dengan menggunakan struktur penceritaan yang lebih dramatis.

Romeo x Juliet (1996)

Untuk meningkatkan ketegangan cerita, Ia melakukan penambahan unsur komedi dan tragedi, mengembangkan karakter-karakter pendukung, dan menambahkan alur cerita.

Fakta tersebut tentunya membuat saya mengernyitkan dahi, mengingat bahwa William Shakespeare dikenal sebagai “The Greatest Writer in the English Language.”

Bahkan, sosok Shakespeare menggunakan karya yang sudah ada sebelumnya untuk membuat sebuah cerita baru. Padahal, selama ini, saya kira cerita Romeo dan Juliet adalah suatu ‘penemuan’ baru yang Shakespeare ciptakan.”As if there is no tragic love story before Shakespeare.”

Mengolah Inspirasi

Diskusi tentang orisinalitas atau kebaruan suatu karya dan gagasan mungkin sudah sering kita dengar di linimasa sosial media. Tidak jarang, kita melihat beberapa komentar yang mendiskreditkan suatu pemikiran atau karya karena mengacu atau mungkin terlalu mirip dengan sesuatu yang sudah ada sebelumnya.

Dalam situasi seperti ini, kita cenderung membandingkan satu karya dengan yang lain, misalnya, “film ini mirip dengan film itu” atau “lagu ini terdengar seperti plagiat dari yang itu.”

Salah satu studi kasus yang paling dekat adalah film Sleep Call karya Fajar Nugros yang diperankan oleh Laura Basuki dan Bio One. Banyak orang mengomentari–atau mungkin mengkritik–bahwa film rilisan tahun 2023 ini terlalu mirip dengan film Fight Club karya David Fincher yang diperankan oleh Edward Norton dan Brad Pitt.

Sleep Call (2023)

Secara genre dan cerita yang dibangun, film ini memang ada kemiripan dengan Fight Club (1999). Sosok Rama dan Tyler Durden, yang merupakan figur hasil proyeksi karakter utama, membuat Sleep Call terlihat me-recycle ide dalam Fight Club.

Padahal, secara gamblang, terdapat perbedaan yang signifikan antara keduanya: Tyler Durden adalah sosok lain dalam diri The Narrator, sedangkan Rama adalah proyeksi yang disematkan pada sosok nyata, hasil dari kesepian dan ketidakberdayaan karakter Dina dalam melawan penindasan.

Fight Club (1999)

Tidak dipungkiri, film Sleep Call memang mengingatkan kita pada beberapa film, selain Fight Club juga pada Perfect Blue (1997), Belahan Jiwa (2005), Her (2023), dan Parasite (2019).

Meskipun Sleep Call mengingatkan kita pada judul-judul tersebut, semua film yang saya sebutkan memiliki muatannya masing-masing dan memiliki perbedaan yang kentara.

Fajar Nugros sendiri juga mengatakan bahwa tidak ada hal yang baru di bawah matahari, mengingat karyanya ini juga ‘berdiri pada bahu’ film-film atau directors yang sudah ada sebelumnya.

Hal ini membawa kita pada pertanyaan mendasar tentang kreativitas dan inspirasi dalam proses kekaryaan, “Seberapa jauh kita bisa mengambil mengambil referensi dan terinspirasi?”

Bukan Dari Mana Kita Mengambil

Jean-Luc Godard, seorang sutradara berkebangsaan Prancis-Swiss, pernah mengatakan bahwa “It’s not where you take things from — it’s where you take them to.”

Adalah wajar jika sebuah karya mengambil inspirasi dari yang sudah ada sebelumnya, karena sejarah seni dan budaya manusia selalu berkembang dari warisan pengetahuan yang ada.

Chungking Express (1994)

Dalam dunia seni dan media, perdebatan tentang orisinalitas dan pengaruh adalah hal yang biasa. Tapi, yang penting adalah bagaimana kita melihat karya-karya tersebut dengan cara yang lebih mendalam, melihat perbedaan dan kontribusi masing-masing.

Kuncinya adalah bagaimana sebuah karya mampu mengolah inspirasi tersebut dan menghadirkannya dalam cara yang unik, berbeda, dan relevan dengan konteksnya.

Kreativitas tidak melulu berarti menciptakan sesuatu yang sepenuhnya baru dari nol, tetapi juga bisa berarti mengambil elemen-elemen yang sudah ada dan mengembangkannya dalam cara yang memadukan pandangan pribadi dan konteks yang mengikuti.

Gagasan Tidak Datang dari Ketiadaan

Fenomena ini tergambarkan secara sempurna dalam metafora “Standing on the Shoulders of Giants” yang secara literal dapat diartikan menjadi “Berdiri pada Bahu Para Raksasa.” Metafora ini dipopulerkan oleh Isaac Newton pada tahun 1675 melalui surat yang Ia tulis kepada rekan ilmuwannya, Robert Hooke.

Dalam suratnya, Newton menuliskan, “If I have seen further, it is by standing on the shoulders of giants.” Sekarang, tulisan ini banyak digunakan sebagai penyimbolan proses ilmiah. Lucunya, Newton sendiri juga mengambil istilah tersebut dari seorang penulis bernama John of Salisbury dan filsuf Prancis bernama Bernard of Chartres.

Secara garis besar, metafora tersebut menjelaskan bahwa ide–atau dalam kasus ini cerita–pasti berasal dari suatu tempat. Jika ditarik lebih jauh, dan menghubungkan garis secara kronologis, kita akan menemukan bahwa sebuah ide brilian bermuara dari ide/penemuan terdahulu.

Entah itu bidang kesusastraan, sains, sampai teknologi, semua penemu dan inovator berdiri pada bahu sosok-sosok serta ide-ide ‘raksasa’ yang sudah hadir sebelumnya.

Tidak ada ide yang tiba-tiba datang begitu saja dari ruang kehampaan. Selalu ada dasar dari mana ide tersebut berasal, mungkin dari film, buku, jurnal, artikel atau perbincangan fafifu-absurd di jam 3 pagi. Bahkan, tulisan yang kamu baca saat ini pun juga tidak sepenuhnya berasal dari ketiadaan.

Apa yang sudah kita baca, dengar, lihat, dan sentuh kemudian akan kita olah kembali, lalu menghadirkannya dalam perspektif berbeda; mungkin bisa menjawab permasalahan atau mungkin relevan dengan keadaan sekarang.

One Million Yen Girl (2008)

Perlu kita sadari bahwa ‘berdiri pada bahu raksasa’ dapat membuat kita melihat lebih jauh–melihat gagasan dan kreativitas manusia yang sebelumnya mungkin tidak terlihat. Dengan adanya warisan gagasan yang sudah ada, kita dapat melangkah lebih jauh menuju kemungkinan-kemungkinan baru dan menjawab persoalan yang dihadapi.

Kemudian, anak-cucu generasi penerus akan melanjutkan gagasan yang kita buat dan menyesuaikannya dengan konteks yang mereka hadapi. Siklus ‘berdiri pada bahu para raksasa’ akan terus berulang sampai kapanpun, selama manusia masih hidup, berpikir, dan berkarya.

Pada akhirnya, tidak ada yang benar-benar baru di bawah matahari. Kita semua merupakan hasil dari apa yang telah kita baca, dengar, lihat, dan rasakan. Setiap hasil karya yang muncul dari diri kita adalah hasil dari apa yang sudah pernah kita konsumsi.

--

--

Had Unji

Portraying everything that comes in my mind in a form of words